tugas kajian etnografi



PERKAWINAN DALAM DESA ADAT TENGANAN

Bali, siapa yang tidak kenal dengan pulau yang sangat terkenal tersebut? Bali merupakan pulau wisata yang terkenal di dunia yang dimiliki Indonesia. Bali banyak dikunjungi oleh para wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestic. Selain terkenal dengan pantainya yang indah dan keindahan panoramanya di Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang masih melaksanakan tradisi para leluhur mereka. Para masyarakat di Bali juga memperkenalkan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Bali kepada para wisatawan yang datang berkunjung. Karena sering dikunjungi para wisatawan baik domestic maupun mancanegara masyarakat di bali sudah mulai terkontaminasi oleh modernisasi. Tetapi disela-sela masyarakat Bali yang sudah mulai terkontaminasi oleh budaya modernisasi ternyata masih ada sekelompok masyarakat di Bali yang masih sangat memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka. Mereka yang masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang tersebut adalah masyarakat yang berada di desa Adat Tenganan yang ada disebelah timur pulau Bali.
Desa Adat Tenganan merupakan desa yang terletak di pulau Bali tepatnya di kabupaten  Karangasem kecamatan Manggis. Menurut keterangan yang saya peroleh dari bapak Kepala Desa desa Adat Tenganan yaitu bapak I Putu Suwarjana bahwa desa Tenganan memilik luas 917.200 hektar yang dari 917.200 hektar tersebut 0,85% merupakan pemukiman penduduk dan 22% merupakan sawah. Desa ini juga biasa disebut sebagai desa Bali Aga ataupun desa Tenganan Pegringsingan karena desa ini terkenal dengan kain tenunnya yang disebut dengan kain tenun gringsing. Kain gringsing di desa Tenganan mempunyai harga yang sangat mahal. Selain kain gringsing di desa Adat Tenganan juga terdapat kerajinan tangan lainnya seperti kerajinan anyaman dari ate, lukisan daun lontar dan kerajinan ukir. Desa Adat Tenganan merupakan desa yang masih sangat tradisional, dimana penduduknya masih sangat memegang teguh dan menjalankan tradisi yang ditinggalkan oleh para nenek moyang mereka. Desa ini juga dikenal sebagai desa pariwisata budaya di Bali. Banyak sekali wisatawan yang datang berkunjung untuk melihat kebudayaan dan tradisi masyarakat yang ada di desa Adat Tenganan. Tradisi yang sangat terkenal di desa Adat Tenganan yaitu Perang Pandan dan tradisi ini dilakukan setahun sekali.
Desa Adat Tenganan berbeda dengan desa-desa yang ada di Bali pada umunya, diamana para masyarakat di desa Tenganan menganut agama Hindu yang dewa utamanya adalah dewa Indra, sehingga apabila ada orang yang meninggal maka tidak ada upacara ngaben melainkan upacara penguburan yaitu orang yang meninggal dikubur dalam keadaan telanjang bulat. Pola hidup masyarakat Tenganan masih mengacu pada hukum adat mereka yang disebut dengan Awig-awig. Semua masyarakat di desa Adat Tenganan menjalankan peraturan yang terdapat didalam awig-awig dan masih menjalankan segala tradisi yang diturunkan oleh para nenek moyang mereka, bahkan hingga sekarang system perkawinan yang ada didalam desa Adat Tenganan masih belum berubah yaitu menggunakan system perkawinan endogami.
            System endogamy sendiri yaitu suatu perkawinan yang dilakukan antar anggota dari dalam suatu kelompok. Dalam teori evolusi keluarga JJ. Bachofen endogamy atau perkawinan didalam batas-batas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriachate lambat laun hilang, dan berubah menjadi susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental. Di desa Tenganan masyarakatnya tidak diperbolehkan untuk menikah dengan orang yang berasal dari luar desa Tenganan mereka diharuskan untuk menikah dengan penduduk asli desa Tenganan. Jika seorang penduduk desa Adat Tenganan menikah dengan orang dari luar desa Tenganan apabila orang yang menikah tersebut perempuan maka orang tersebut akan diberi hukuaman yaitu dengan disuruh keluar dari desa untuk mengikuti suaminya tanpa mendapatkan harta benda apapun. Karena masyarakat disana beranggapan bahwa seorang perempuan yang sudah menikah bukan lagi menjadi tanggungan keluarga tetapi sudah menjadi tanggungan suami, sehingga perempuan tersebut disuruh untuk mengikuti suaminya dan akan dikeluarkan dari daftar keluarga, sedangkan apabila yang menikah dengan orang luar adalah seorang laki-laki,maka laki-laki tersebut diberikan pilihan ingin tetap tinggal di desa Adat Tenganan atau keluar dari desa Adat Tenganan. Hal ini sesuai dengan konsep dari Radcliffe-Brown mengenai hukum bahwa pada masyarakat yang ada adat dan norma-norma, untuk mana warga masyarakat seolah-olah mempunyai suatu ketaatan yang otomatis. Warga masyarakat yang melanggarnya dengan sendirinya akan mendapat reaksi keras dari masyarakatnya, karena sifat kecil dari masyarakat itu. Pada dasarnya tujuan dari system perkawinan endogamy yang ada di desa Adat Tenganan yaitu untuk mempertahankan tradisi-tradisi yang ada di desa Adat Tenganan.
Di desa Adat Tenganan juga terdapat perkawinan yang tidak diperbolehkan, selain perkawinan dengan orang luar desa yaitu perkawinan antara saudara dari pihak istri dengan saudara dari pihak suami. Karena hubungan perkawinan tersebut dianggap terlalu dekat. Disana juga melarang perkawinan adanya perkawinan antara orang tua dengan ananknya, perkawinan dengan saudara sekandung atau saudara tiri, dan perkawinan antara seseorang dengan anak dari saudara kandungnya atau keponakannya sendiri. Hubungan perkawinan seperti tersebut dianggap melanggar norma kesusilaan dan juga dianggap akan membawa bencana.
Menurut Kepala Desa desa Adat Tenganan yaitu bapak I Putu Suwarjana pada saat acara diskusi bersama dengan para rombongan KKL, beliau mengatakan bahwa ada tiga model perkawinan di dalam desa Adat Tenganan yaitu Mlegandang, Memadik, dan Nganten.  Yang pertama, mlegandang (kawin paksa) yaitu seorang laki-laki membawa lari seorang perempuan yang akan dinikahi dan disembunyikan hingga pergantian hari yang ditandai dengan adanya pemukulan kentongan sebanyak 21 kali pada pukul 06.00 WITA, yang kedua yaitu memadik yang disebut juga kawin pinang dimana orang tua dari calon pengantin laki-laki melakukan pinangan ke rumah calon pengantin perempuan dan meminta calon pengantin perempuan tersebut untuk menjadi istri dari anak laik-lakinya, sedangkan bentuk perkawinan yang ketiga adalah Nganten, yaitu perkawinan yang dikarenakan antara pengantin  laki-laki dan perempuan saling menyukai satu sama lain. Saat ini model perkawinan yang sering digunakan yaitu model perkawinan Nganten. Karena masyarakat sadar bahwa perkawinan model mlegandang dan memadik sudah kurang tepat untuk digunakan pada zaman sekarang ini.
 Didalam masyarakat desa Adat Tenganan, perkawinan merupakan sesuatu yang sakral karena hanya boleh sekali saja dilakukan. Hal tersebut terbukti dengan adanya larangan untuk masyarakat desa Adat Tenganan untuk poligami (mempunyai istri lebih dari satu) atau menikah lagi dan juga adanya larangan untuk bercerai. Di desa Adat Tenganan melarang keras adanya perkawinan poligami karena dianggap tidak menghargai kaum perempuan dan melukai persaaan perempuan. Penduduk  di desa Adat Tenganan dilarang untuk melakukan perceraian tetapi diperbolehkan untuk pisah ranjang. Selain itu perkawinan di desa Adat Tenganan juga digunakan sebagai tolak ukur dalam penempatan jabatan didalam pemerintahan adat desa, misalnya untuk menjadi seorang krama desa yaitu dilihat dari senioritas perkawinan orang tersebut dan juga orang tersebut tidak boleh melakukan poligami, tidak boleh janda maupun duda. Dan apabila seorang krama desa melakukan poligami maka dia akan lengser dari jabatannya sebagai krama desa, selain itu apabila krama desa mempunyai anak dan anak tersebut sudah menikah maka orang tersebut juga akan lengser dari jabatannya sebagai krama desa.
Dalam masyarakat Adat Tenganan tempat pelaksanaan upacara perkawinan boleh dilakukan di rumah mempelai laki-laki atau di rumah mempelai perempuan, tergantung hasil kesepakatan dari kedua belah pihak pengantin. Pelaksanaan upacara perkawinan dipimpin oleh ketua adat desa Adat Tenganan dan yang menentukan hari pernikahan juga ketua adat desa, tanggalan yang digunakan untuk menentukan hari pernikahan yaitu tanggalan desa Adat Tenganan sendiri. Biasanya dalam upacara perkawinan, diadakan suatu syukuran di rumah kedua belah piahak mempelai. Dalam syukuran tersebut dilakukan penyembelihan babi untuk menjamu para tamu. Berbeda dengan perkawinan di Jawa dimana pengantin laki-laki harus memberikan mas kawin, di desa Adat Tenganan dalam perkawinan tidak diwajibkan memeberi mas kawin karena masyarakat disana menganggap dengan pemberian mas kawin sama saja dengan merendahkan seorang perempuan, seolah-olah perempuan dapat dibeli dengan mas kawin. Setelah menikah pengantin tersebut akan tinggal bersama dengan orang tua untuk sementara waktu dan biasanya setelah tiga bulan pernikahan, pasangan pengantin tersebut diharuskan membangun rumah sendiri dengan menggunakan biaya sendiri di tanah yang disediakan oleh ketua adat dan juga diberi kayu untuk membangun rumah. Apabila pasangan pengantin tersebut belum mempunyai biaya untuk membangun rumah, maka pengantin tersebut diharuskan lapor kepada ketua adat untuk meminta perpanjangan waktu untuk membangun rumah dan ketua adat akan memberikan perpanjangan waktu kepada pasangan pengatin tersebut.
 Di desa Adat Tenganan juga terdapat perkawinan yang disebabkan karena hamil diluar nikah. Di desa Adat Tenganan apabila ada remaja yang hamil diluar nikah, maka orang tua akan dimintai uang denda sebesar seribu rupiah pertahunnya selama seumur hidup dan apabila sang orang tua telah meniggal maka sang anak yang akan menggantikan untuk  membayar denda. Denda yang diminta tersebut bukan semata-mata karena materi tetapi denda yang diminta pertahun tersebut untuk mengingatkan kesalahan orang tua yang dianggap telah lalai dalam mendidik dan menjaga anak sehingga mengakibatkan anak hamil sebelum menikah.
Di desa Adat Tenganan jarang terjadi permasalahan dalam suatu perkawinan. Menurut sumber yang bernama Ni Wayan Mauratmi yang merupakan penduduk asli desa Adat Tenganan, mengatakan bahwa idealnya pada masyarakat adat Tenganan Bali jarang terdapat permasalahan-permasalahan dalam perkawinan. Apabila terjadi permasalahan dalam keluarga dan permasalahan tersebut masih tergolong dalam permasalahan yang ringan maka untuk menyelesaikan masalah tersebut yaitu dengan cara berunding antara suami dan istri. Lalu apabila permasalahan yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan berunding biasanya cara yang digunakan yaitu dengan mendatangkan pihak ketiga, disini pihak ketiga yang dimaksud adalah orang tua sebagai saluran mediasi dan jika cara tersebut masih belum bisa menyelesaikan permasalahan jalan terakhir yang di tempuh yaitu dengan pisah ranjang karena tidak memungkinkan untuk melakukan perceraian karena di desa Adat Tenganan perceraian tidak diperbolehkan.
Jika dibandingkan, perkawinan di Jawa dengan perkawinan yang ada di desa Adat Tenganan Bali berbeda baik itu dilihat dari upacara perkwinan maupun system perkawinannya. Di Jawa jika dalam perakwinan harus memberikan mas kawin sedangkan di desa Adat Tenganan Bali tidak diharuskan untuk memberikan mas kawin. Di Jawa perceraian dalam perkawinan tidak dilarang sedangkan di desa Adat Tenganan Bali perceraian didalam perkawinan tidak diperbolehkan dan dilarang.










DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : Universitas Indonesia.

0 Response to "tugas kajian etnografi"

Posting Komentar

Pages